Cinta Laura

Share on :

Sepuluh milyar, pikir gue. Butuh waktu lima taun, lima taun tambah dua orang partner dan banyak tipu daya, tapi paling nggak itu berhasil, dan sekarang sudah waktunya kita kabur dari sini. Gue udah pikirin ini sejak pertama kali. Kita bertiga bakal ketemu di kantor waktu liburan , jadi nggak ada karyawan laen yang bakalan liat kita di sini. Dan dari kantor kita ke bandara, dan bertiga langsung terbang ke pulau tempat wanita-wanita cantik kumpul di sana dan dimana pejabat pemerintah lebih bisa di beli dari pada di sini, dan nggak ada perjanjian ekstradisi. Gue liat jam tangan gue, udah jam 6 sore, masih ada waktu lima jam lagi sebelum kita berangkat ke bandara. Gue tersenyum waktu gue liat papan nama di meja gue yang gede : Roy Pangestu, Wakil Presiden Direktur.


Sebuah ketukan di pintu kantor gue membuat gue tersadar dari lamunan gue. Gue kaget banget. Mustinya nggak ada seorangpun di kantor ini, Johan dan Toni mustinya masih ada di bagian akunting membersihkan bukti-bukti supaya pelarian kita ini nggak cepat ketahuan. Gue berdiri dan memndekati pintu.


"Silakan masuk."


Pintu terbuka, dan seorang gadis muda seperti yang sering ada di cover majalah-majalah dan memiliki album rekaman masuk ke kantor gue, ragu-ragu. Dia bener-bener menakjubkan, berdiri tinggi langsing di atas sepatunya yang tinggi. Man, sepatunya hitam berkilat dengan hak yang tinggi, menutupi telapak kakinya yang pastinya halus dan indah kalau melihat tungkainya yang terlihat sempurna ditutupi stocking hitam, dan sebuah rok ketat menutupi sebagian pahanya yang tampak mulus. Sebuah blus putih dan rompi hitam tidak bisa menutupi perutnya yang rata, pinggangnya yang ramping dan buah dadanya yang bulat mengacung dari balik blusnya. Leher gadis itu putih bersih, menunjang sebuah wajah yang benar-benar ayu dengan bibir yang sensual, wajah yang biasa muncul di majalah-majalah remaja di Indonesia. Rambut gadis itu ikal hingga ke punggung, jatuh lembut di sisi kepalanya, mempercantik mata gadis itu yang bulat dan tampak makin bercahaya di bawah sinar lampu kantor gue.


"Selamat sore Pak, maaf," katanya ragu-ragu,"Tapi saya mencari pak Santoso. Saya sedang kerja praktek di sini dan saya mengira beliau masuk hari ini."


Gue tampilkan senyum gue yang paling oke sambil membalas tatapan matanya.


"Tadi pak Santoso memang masuk kantor. Tapi beliau sudah pulang lebih awal tadi siang. Silakan duduk dulu."


Gue menunjuk ke sofa kulit coklat dan mempersilakan dia duduk.


"Mungkin saya bisa bantu Nona?"


Gadis itu bergerak mendekati sofa itu dan gue mendekati pintu lalu menutupnya, sambil terus tersenyum, pikiran gue udah penuh dengna nafsu. Gue udah siap lari dari negeri ini, pikiran gue sebelumnya cuma dipenuhi bagaimana nanti setelah enam jam, gue akan bebas dengan duit sebanyak sepuluh milyar, tiba-tiba gadis ini masuk ke kantor gue, gadis yang bener-bener hot.


Gadis itu lalu duduk di sofa, menutup kedua kakinya sambil menarik roknya yang terangkat sedikit membuat gue bisa melihat pahanya. Dia lalu mengeluarkan sebuah notes dan bolpen dari kantong dalam jaketnya dan memperhatikan gue yang duduk di sudut meja kecil yang ada di seberangnya.


"Maaf, bapak…" matanya bertanya-tanya.


"Pangestu, nama saya Roy Pangestu." Jawab gue sambil tersenyum lagi, pikiran gue udah nggak bisa kemana-mana lagi selain melihat ke bibirnya yang penuh, lidahnya yang merah muda yang terlihat menjilat bibirnya setiap kali ia akan bicara. Gue bisa merasakan dada gue berdetak keras sekali ketika gue memperhatikan dia, berdetak makin keras, sementara pikiran gue makin gelap, dan gue tau apa yang akan terjadi, gue juga sadar gue udah bisa menguasai nafsu gue lagi, lagipula gue nggak bermaksud nahan nafsu gue ini.


"Begini pak Roy, saya bekerja praktek dengan pak Santoso sebagai income audit di perusahaan ini. Saya bekerja sebagai tugas akhir di akademi saya."


"Nona dari akademi mana?" kata gue, lalu menggelengkan kepalanya,"Maaf, tapi saya belum tahu nama Nona."


"Nama saya Cinta. Cinta Laura." Katanya sedikit ragu-ragu. Tidak percaya diri.


"Begitu, lalu umur kamu berapa Cinta?"


"Eehhh, 21 tahun pak. Dan saya dari Akademi dai sebelah perusahaan ini Pak."


Gue tersenyum padanya. Dia bener-bener sempurna, sempurna sekali. Telapak tangan gue mulai berkeringat.


"Lalu apa yang bisa saya bantu buat Cinta?" gue bener-bener suka mendengar namanya di mulut gue.


"Selama saya kerja praktek di sini, saya sedikit banyak sudah mengetahui cara kerja perusahaan ini." Jari-jari Cinta menyibakan rambut yang menutupi wajahnya, tingkah lakunya agak berubah, tidak lagi gugup, lebih percaya diri ketika ia berbicara. "Yang ingin saya ketahui adalah bagaimana rencana perusahaan ini sehubungan dengan peraturan pemerintah yang baru saja dikeluarkan."


Kepala gue mulai berdenyut-denyut, tapi gue tetap tenang dan rileks, tersenyum sedikit sambil memperhatikannya. Ini selalu terjadi setiap kali gue terangsang, seluruh tubuh gue akan berdenyut-denyut, sementara pikiran gue akan fokus pada satu hal, sementara hal yang lain akan ditutup sebuah kabut, tubuh gue tegang siap untuk meledak. Tapi sebaliknya penampilan gue akan tetap tampak tenang, rileks, tersenyum menutupi gejolak yang ada di bawahnya.


Gue sesekali menjawab pertanyaannya, tanpa terlalu memperhatian apa yang gue katakan, melihat dia menundukan kepalanya untuk menulis kata-kata gue, lalu kembali menatap gue, dengan wajahnya, dengan bibirnya dan kakinya juga blusnya, blus sialan yang menutupi buah dada dan putting susu, serta perut dan pahanya yang hot! Gue sedikit gemetar ketika gue berusaha menahan diri gue beberapa menit lagi.


"…nah kira-kira begitu rencana perusahaan ini," gue menyelesaikan penjelasan gue.


Cinta menganggukan kepala.


"Begitu. Pak Pangestu, bapak bilang ka…"


"Maaf saya menyela sebentar," kata gue. "Tapi saya ingin menanyakan sesuatu hal. Pak Santoso itu, bagaimana ya…," gue menerawang sejenak, "beliau punya sedikit reputasi yang tidak begitu baik di sini." Cinta mengangkat wajahnya dan bertanya-tanya. Gue langsung menatap tepat di matanya yang bulat, wajah gue menampakan raut yang serius setengah mati, "beliau tidak pernah mengganggu kamu kan?"


Cinta telihat terkejut sekali, dan gue sama sekali nggak terkejut. Si Santoso itu umurnya hampir 60 taun, dan kalo dia bukan gay pasti di udah di kebiri, soalnya dia sama sekali nggak tertarik sama cewek-cewek macem Cinta ini. Dan semua sekretaris bener-bener suka sama dia soalnya dia bener-benar baek sama mereka.


"Tidak." Cinta menggelengkan kepalanya. "Beliau tidak pernah mengganggu saya." Cinta kembali gugup seperti sedang mempertahankan diri. Gue bener-bener suka melihatnya.


"Siswi praktek yang terakhir tahun kemarin pergi dari sini karena pak Santoso mengucapkan sesuatu padanya," lanjut gue, "dan penampilan siswi itu nggak ada setengahnya kamu." Gue melihat bibir Cinta kembali keluar membasahi bibirnya yang kering, melihat betapa tangannya bergerak gugup di pangkuannya. Gue membungkuk mendekati dia, gue bener-bener hampir lepas kontrol waktu dia beringsut menjauh dari gue. "Beliau sering menyombongkan diri pada saya, kamu tau, betapa senangnya dia tidur dengan mahasiswi atau anak SMA di sebuah hotel."


Lalu kantor gue kembali sunyi ketika Cinta menatap gue dengan matanya yang indah, seluruh tubuhnya, seluruh tubuhnya yang seksi itu sedikit gemetar ketika ia berusaha memilih tindakan selanjutnya. Ia menunduk dan langsung berdiri, memasukan notes dan bolpen ke dalam rompinya.


"Maaf pak," katanya sambil terus menunduk, "Pak Santoso tidak pernah sekalipun mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu yang mengganggu saya. Terima kasih atas waktu yang sudah bapak berikan."


Gue ikutin dia berdiri, tubuh gue keliatan lebih rileks lagi, sementara pikiran gue berpacu dan mata gue menangkap setiap gerakan Cinta yang bergerak menuju pintu dengan gue di sebelahnya, mulut gue mengucapka maaf beribu maaf, gue bilang bahwa gue menyesal kalo udah bikin dia kaget tapi itu kenyataannya.


"Sekarang!" pikiran gue berkata memerintah seluruh badan gue ketika gue merasakan pegangan pintu telah gue pegang, mata Cinta masih tetap menatap ke depan acuh pada gue ketika ia berhenti sejenak menunggu gue membukakan pintu buat dia.


Cinta melihat apa yang aka menimpanya, tapi ia nggak bisa menghindar, dia nggak punya waktu buat menghindar. Telapak tangan gue udah melayang menghajar muka Cinta di sebelah kiri. Cinta tersentak, ia menjerit, ia sempoyongan, lebih banyak karena terkejut daripada karena tamparan gue. Gue bergerak mendekati dia bagaikan binatang yang menyergap mangsanya. Cinta sempoyongan ke kanan dan sepatunya tertekuk ke dalam membuat dia jatuh di atas lutut kanannya, tangan kanan Cinta langsung menumpu tubuhnya agar tidak jatuh tersungkur. Sambil menggeram gue mengayunkan kaki gue menendang tepat di perutnya, membuat tubuh Cinta mengejang, suara erangan yang menyakitkan terdengar dari mulut Cinta ketika ia kembali jatuh di kedua lututnya, sementara kedua tangan Cinta memegangi perutnya, kepala Cinta menunduk ketika dia berusaha keras menghirup udara, rambutnya yang ikal menutupi wajahnya sementara air liur yang keluar dari mulutnya membasahi bibirnya yang seksi....


........Gue jambak rambut itu, tangan gue langsung menggenggam erat ketika gue tarik rambut Cinta ke belakang mendekati tubuh gue, sementara tangan gue yang lain menarik bagian atas blusnya.


"Lo mungkin udah selesai sama gue, tapi gue belon selesai sama lo," kata gue keras. Cinta yang semakin hot di penglihatan gue masih berusaha megap-megap menghirup udara ketika gue menarik blusnya robek, kancing blus itu terlempar ke lantai, membuat bagian yang sedari ditutupi blus itu sekarang terbuka. Dada yang halus, mulus dan putih bersih, buah dada Cinta ternyata lebih padat dan besar dari yang udah gue bayangin sebelumnya, dilindungi oleh sebuah BH.


Tangan Cinta terangkat ke atas mendorong tangan gue menjauh ketika gue sedang meremas salah satu gunungan daging di dada Cinta, langsung saja gue tarik lagi rambutnya. Cinta mengerang kesakitan, tatapan panik dan ketakutan tampak di matanya ketika ia menatap mata gue.


"Jangan, jangan."


Gue tampar dia sekali lagi, lebih keras dari yang tadi, suara jeritannya terdengar merdu sekali di telinga gue ketika kepalanya terlempar ke samping, sementara tangan gue masih menjambak rambutnya yang ikal dan halus.


"Jangan brisik!" gue tampar dia lagi, jerit kesakitan dan ketakutan Cinta bagaikan musik di telinga gue, "Tutup mulut lo!"


Terdengar suara di belakang gue, dan ketika gue berbalik gue melihat pintu kantor gue perlahan membuka dan masuklah Johan dan Toni ke kantor gue. Cinta meronta di samping gue, tangannya mencakari lengan gue ketika ia berusaha untuk berdiri.


"Tolong saya! Tolong!" Cinta menjerit pada Johan dan Toni, harapan mereka akan menolongnya membuatnya lebih tegar. Cinta berhasil setengah berdiri ketika gue berbalik menghadapi dia lagi, tinju gue mengepal dan menghantam dadanya, membuat mata Cinta membelalak kesakitan dan kembali jatuh berlutut, kemudian tersungkur di atas kedua tangannya, sehingga sekarang ia seperti merangkak di tanah, seorang gadis yang seksi tersungku di atas tangan dan kakinya, sementara Toni, Johan dan gue berpandangan satu sama lain.


Toni lebih pendek dari gue, keras, tampan dan nggak bermoral sama sekali, itulah kenapa gue pilih dia sebagai partner gue. Ia keliatan seperti seorang akuntan yang baru lulus, tapi itu nggak berbeda jauh denga profesinya yang memang seorang akuntan. Dia udah kawin, dua anak cewek, tapi dia sama sekali nggak keberatan kalo musti ninggalin mereka, walaupun dia pernah cerita kalo dia sering nidurin kedua anaknya itu, rada bejat juga tapi itukan bukan anak gue jadi gue nggak peduli. Johan berbeda sama sekali. Ia seperti mandor bangunan yang pake jas. Dia mungkin berotot, tapi dia juga yang paling pinter diantara kita bertiga, dan seorang akuntan yang jago pula, terutama kalo dia musti menghilangkan sejumlah uang dari perusahaan.


Kalo saja orang laen yang masuk ke kantor gue pasti udah gue beresin. Tapi sekarang gue masih menunggu, Cinta tersungkur di tangan dan lututnya berusaha menghirup udara, sambil memperhatikan dua rekan gue yang baru saja masuk. Johan mendekati pintu dan gue perhatiin dia. Gue tersenyum lebar ketika gue liat dia menutup pintu dan menguncinya tanpa berkata apapun. Toni memandang Cinta lalu memandang gue.


"Ada apaan nih?"


"Hadiah," kata gue, "hadiah buat perpisahan kita dengan kantor ini."


Gue liat mata mereka kembali menatap Cinta, yang mulai menguasai dirinya lagi. Gue tau apa yang mereka liat, seorang gadis berlutut di lantai, stocking hitam yang menutupi paha yang indah, rok yang ketat yang menutupi bulatan pantat yang penuh, blus yang ia pakai terbuka dan menggantung di tubuhnya, buah dadanya bergoyang-goyang dan rambutnya yang ikal bergoyang kian kemari ketika gadis itu megap-megap menghirup udara. Nggak ada laki-laki yang bener laki-laki yang nggak mau ngicipin gadis itu saat itu juga.


Cinta menatap mereka, memohon dan meratap agar mereka menolongnya.


"Saya mohon, tolong saya," ia meratap, dan gue liat itu menyentuh Toni. Gue liat raut muka Toni langsung berubah, gue liat nafsu dan sadis sudah menguasai seluruh tubuh Toni ketika ia menatap Cinta di bawahnya. Cinta juga melihat itu dan air mata mulai mengalir dari matanya yang indah, sedu sedan tedengar dari mulut Cinta ketika ia menatap ke arah Johan dan menemukan wajah Johan yang tanpa perasaan dengan mata yang berkilat-kilat.


"Gimana kalo lo tunjukin yang lo dapet," kata Toni sambil terus menatap Cinta.


Gue nurut, dengan tangan masih di rambutnya gue tarik Cinta supaya berdiri, tangan Cinta meremas lenganku keras-keras, tapi gue nggak peduli sambil terus menariknya supaya berdiri lagi atas sepatunya yang bertumit tinggi itu. Dan ketika dia sudah berdiri gue pegang tangannya dan gue lipet ke belakang, pantat Cinta menyentuh selangkangan gue, membuat penis gue berontak pengen keluar. Gue pegang tangannya yang satu lagi dan melipetnya juga ke belakang jadi satu dengan tangannya yang lain. Dengan tangan dipegangi oleh gue, gue tarik tubuh Cinta mendekati badan gue, terus gue gosokin pantatnya ke penis gue yang udah tegang setengah mati, Cinta cuma bisa meratap dan menangis dengan perlakuan gue itu.


Gue jambak lagi rambut Cinta dengan tangan gue yang masih bebas dan menariknya ke atas, sesaat tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan semakin mepet ke badan gue. Buah dada Cinta ang bulat dan kencang menyembul ke depan dihalangi oleh BH-nya, air mata menggenang di mata Cinta ketika ia melihat Toni mendekati dirinya. Toni menatap mata Cinta, dan gue liat Cinta menjilat bibirnya dan menelan ludah berusaha tenang dipegangi oleh tangan gue. Toni tersenyum dan mengulurkan tangannya mengelus pipi kiri Cinta. Tubuh Cinta diam tak bergerak, tapi tetap terasa hangat di badan gue. Jari-jari Toni mengelusi pipi Cinta lalu turun meraba kulit yang halus di leher Cinta yang putih bersih tak bercela. Cinta akhirnya bersuara, suara lebih tenang daripada ketika gue menamparnya tadi, tapi masih tedengar nada ketakutan dan gemetar.


"Lepaskan saya. Saya nggak akan bilang ke siapapun. Tolong lepaskan saya dan saya akan tutup mulut."


Cinta menelan ludah lagi, semua diam, menunggu seseorang untuk bereaksi, dan gue masih menunggu reaksi Toni yang tersenyum sambil meletakan tangannya ke bahu Cinta, bahu yang gemetar panik dan ketakutan. Sebuah jerit kesakitan terdengar lagi dari bibir Cinta ketika Toni mengangkat lututnya dan menghantam tepat di perut Cinta membuat lutu Cinta menekuk kesakitan, tangan gue mengeraskan pegangannya ketika Cinta meronta kesakitan sampai akhirnya dia bisa berdiri karena masih gue pegangin.


Cinta kembali menguasai dirinya, masih megap-megap kesakitan, kakinya kembali diluruskan, sempoyongan berusaha berdiri lagi, sementara Toni menatap sambil tersenyum sadis dan gue balik tersenyum pada Toni dari belakang Cinta dan Johan hanya memperhatikan semuanya dari seberang, matanya mengatakan bahwa ia menikmati ini semua.


"Siapa yang suruh lo bicara?" kata Toni sambil menggerakan kepala Cinta yang lunglai ke kiri dan kanan sambil melihat ke mata Cinta yang basah karena air mata.


"Namanya siapa sih?" tanya dia ke gue.


"Cinta Laura." Kata gue singkat.


"Nah Cinta," Toni meraba perut Cinta yang rata, membuat tubuh Cinta meronta berusaha menghindar, tapi Cinta mengerti untuk tidak bersuara sedikitpun.


"Nah Cinta, lo bener-bener cewek yang cantik. Pernah nggak ada orang yang bilang begitu sama lo?" Tangan Toni sekarang ada di punggung Cinta, membuatnya semakin dekat dengan Cinta.


"Jawab!" bentak Toni, sambil menarik tubuh Cinta mendekat padanya membuatnya semakin jauh dari tubuh gue, sementara gue masih mengosokan penis gue ke pantat Cinta, rasa ketakutan dan tak berdaya Cinta makin membuat gue bernafsu.


"Yyyaa.." suara yang gemettar, penuh ketakutan dan tak berdaya membuat gue pengen langsung melemparnya ke lantai dan langsung menidurinya saat itu juga.


"Gue yakin udah ada yang pernah ngomong gitu kan," Toni kembali mendekat dan sekarang mulai menjilati leher Cinta dengan lidahnya, tangisan Cinta semakin membuat Toni bersemangat ketika ia menemukan kancing BH Cinta dan mulai melepaskannya. Tangis Cinta semakin keras sementara ia diam tak bergerak di antara gue dan Toni, yang masing-masing mengosokan tubuh masing-masing ke tubuh Cinta.


Gue mengela nafas ketika gue meraskan tangan Toni sudah melepas kancing BH Cinta, dan gue langsung melepaskan pegangan tangan gue dari pergelangan tangan Cinta dan gue tarik rompi serta blusnya dari bahu Cinta, terus turun ke lengan sementara tubuh Cinta dipegangi oleh Toni dari depan. Gue lempar pakaian itu ke lantai dan melihat punggung Cinta yang halus dan sangat menggairahkan. Tangan Cinta sekarang menahan bahu Toni, dan gue bisa melihat betapa tangan itu gemetar ketakutan, Cinta ketakutan untuk melawan dan menolak Toni. Gue melepaskan sepatu gue dan berjalan ke samping di mana gue bisa liat Toni dan mainan kita yang baru dengan jelas.


"Cantik, cantik sekali," bisik Toni, tangannya mengelusi punggung Cinta. "sekarang kita liat dada kamu." Toni kemudian menarik turun BH Cinta hingga lepas dari tubuhnya sementara tubuh ia masih dalam dekapan Toni. Gue liat mata Cinta sekarang menatap kosong, dan penuh dengan air mata, ketakutan, dan putus asa. Gue turunin celana gue dan mengosoki penis gue lewat celana dalem gue sambil melihat Toni bermain dengan Cinta, melepaskan BH itu dan membiarkannya jatuh ke lantai di antara mereka.


Tangan Toni mengusap belakang kepala Cinta, dan gue liat tubuh Cinta kembali gemetar ketika Toni melangkah ke belakang menjauhi Cinta, mata Toni melahap habis buah dada Cinta, dua buah bukit daging bulat mengacung dari dada Cinta, bergantung lepas dan tampak besar bila dibandingkan dengan tubuh Cinta yang ramping, puting susunya yang berwarna merah muda tampak mengeras karena kedinginan dan gesekan dengan pakaian Toni tadi. Toni kembali menarik tubuh Cinta, dan meredam tangisan Cinta ketika ia melumat bibir Cinta dengan bibirnya, menarik kepala Cinta hingga mendongak dan menciumi bibir Cinta serta menjulurkan lidahnya dalam mulut Cinta yang hangat.


Sesuatu telah membuat Cinta tersadar, karena tiba-tiba ia mendorong tubuh Toni menjauh sekuat tenaga, sambil menjerit.


"TIDAK! TIDAK! Bajingan!" Cinta mundur menjauhi Toni seperti binatang yang terluka, tangannya menutupi buah dadanya. Cinta memandang ke arah gue, rambutnya menutupi sebagian wajah Cinta, wajahnya bersimbah air mata, dan matanya, matanya yang indah itu memancarkan teror dan putus asa, ia kemudian mendekati Johan, matanya memohon dan suaranya histeris meratap pada Johan.


"TOLOOONNGG sayaahhh, hentikan ini semua." Cinta mustinya sudah menyadari dari tadi. Raut muka Johan sekarang berubah, dan ia tersenyum pada Cinta, dan gue kembali melihat teror kembali timbul di sekujur tubuh Cinta ketika ia menyadari bahwa sekarang ia sudah terjebak dan setiap ia memandang mata setiap orang di ruangan itu yang ia lihat hanya nafsu dan kesadisan.


Ia berusaha lari keluar, menghindar dari Toni yang tidak bergerak sedikitpun untuk menghalanginya, tapi gue yang bergerak, gue tabrak dia dengan bahu gue hingga Cinta terjengkang dan terbanting ke lantai. Dan langsung saja kita bertiga menyerbu ke arahnya., gue pengen perkosa dia, gue pengen bikin dia sakit dengan penis gue dan denger dia menjerit waktu gue perkosa dia. Gue udah seluruhnya dikuasai nafsu birahi waktu gue menarik sepatunya, kemudian merobek stocking dan roknya sementara Johan dan Toni memegangi tubuh Cinta yang meronta dan mengejang, jeritan Cinta berbaur dengan nafsu gue menambah semangat gue menelanjangi dia.


"Pegangin dia," gue dengar Toni berkata, dan gue langsung memegangi kakinya yang berusaha nendang gue. Setelah memegangi kedua kaki Cinta gue baru bisa menikmati tubuh Cinta yang telah telanjang bulat dengan leluasa, tubuh yang terbaring tak berdaya antara gue dan Johan yang memegangi tangannya di atas kepala Cinta. My God, dia bener-bener punya badan yang indah, buah dada Cinta bergoyang kian kemari ketika Cinta meronra-ronta, penuh, bulat dan kenyal, perutnya bener-bener rata dan keliatan kuat karena gue liat otot-otot yang mengejang ketika ia meronta. Dan gila, pahanya, pahanya putih bersih dan halus mulus, di pangkalnya gue liat rambut kemaluan halus hitam menutupi gundukan vaginanya. Gue bener-bener nggak sabar buat masuk ke gundukan itu, penis gue seakan-akan akan meledak ketika gue terus megangin dia dan melihat Toni berdiri di samping tubuh Cinta, dengan ikat pinggang di tangan, matanya berkilat liar dan nafasnya mendengus-dengus..


........ "Pukul dia Ton!" Johan berkata dan gue juga melihat pancaran birahi dan sadis dari matanya ketika ia memandang Cinta.


"JANGAAANNN!" Cinta menjerit sementara matanya mendelik ketakutan ketika ia melihat ikat pinggang itu mengayun ke perutnya, suara ikat pinggang kulit yang beradu dengan perut Cinta sekeras jeritan Cinta yang melolong. Ia mengejang di tangan gue, sambil terus gue pegangin, Cinta meronta kesakitan ketika Toni mengayunkan lagi ikat pinggangnya terarah ke buah dadanya, membuat gundukan itu bergoyang-goyang liar sementara Cinta terus menjerit dan mulai menangis lagi.


Toni terus memecuti Cinta, mengayunkan ikat pinggang kulit itu tubuh Cinta yang putih bersih, ke buah dadanya, perutnya, pahanya, membuat tubuh Cinta menjadi belang kemerahan sementara Cinta sendiri meronta dan menjerit dan menangis dipegangi oleh gue dan Johan. Gue nggak bisa mengalihkan pandangan gue dari tubuhnya yang terkejang-kejang, rontaannya, tubuhnya memilin, menekuk, dan menjerit-jerit. Nggak ada yang lebih menggairahkan gue dari pada melihat gadis yang sedang menjerit-jerit kesakitan. Gue harus perkosa dia.


Gue lepasin pegangan gue, melepaskan celana dalem gue dan baju gue sementara Cinta menarik kakinya hingga menutupi dadanya, dengan tangan masih dipegangi oleh Johan. Suara yang terdengar dalam ruangan itu hanya tangisan Cinta, tangisan yang benar-benar menyayat hati, yang membuat penis gue makin bergoyang-goyang ingin segera memuntahkan isinya. Gue berjongkok dan menarik kaki Cinta lalu membukanya, pikiran gue sudah gelap ketika gue menindih tubuh Cinta membuatnya Cinta terhenyak di sela-sela tangisannya. Gue meraba kaki Cinta yang panjang dan merasakannya bersentuhan dengan kaki gue, membuat tubuh gue ikut gemetar karena nafsu. Gue merasakan buah dada Cinta yang ditindih oleh dada gue, perut Cinta yang hangat naik turun di bawah perut gue, tubuhnya sekarang hanya sebuah mesin untuk muasin nafsu gue, untuk muasin birahi gue.


Gue meraih penis gue dan memeganginya, memandang ke arah Cinta yang memalingkna wajahnya dari gue, matanya terpejam erat-erat sementara di pipi dan dahinya menempel rambut yang lengket karena keringat dan air mata. Gue mengarahkan penis gue ke vagina Cinta, cairan yang keluar dari penis gue membasahi vaginanya, membantu gue membuka bibir vagina Cinta sampai gue merasakan liang vagina gue tepat di depan kepala penis gue. Lole mengerang dan merintih, tubuhnya kembali meronta-ronta, giginya menggeretak ketika gue jambak rambutnya dan menariknya hingga mendongak sehingga gue bisa menciumi bibirnya yang sensual, menikmati jeritan Cinta ketika gue menghujamkan penis gue ke vaginanya yang kering kerontang, menikmati rasa sakit dan ketakutan Cinta ketika gue mulai memperkosanya.


Gue masukin lidah gue ke mulut Cinta yang hangat dan basah, tubuh gue bagai terbakar ketika merasakan jepitan vagina Cinta di batang penis gue ketika kepala penis gue menembus selaput daranya, kaki Cinta terangkat karena kesakitan dan rintihan terdengar dari tenggorokannya. Tubuhnya mengejang berusaha melawan ketika gue mulai bergerak dengan keras di vagina Cinta, gue tarik penis gue sampai tinggal kepalanya di vagina Cinta sebelum gue dorong lagi masuk ke dalam rahimnya. Dia bener-bener gila, sungguh gila, menggairahkan, masih meronta-ronta di bawah tubuh gue, kakinya masih bisa bergerak-gerak berusaha menutup, masih terus merintih dan menangis dan tersedak dan gue merasakan betapa tersiksanya dia lewat lidah gue yang ada di mulutnya.


Gue merasakan cairan di penis gue yang ada di dalem vagina Cinta, sebagian pasti darah perawan Cinta yang keluar ketika gue merobek selaput daranya, sebagian lagi mungkin cairan penis gue yang keluar sebelum gue bener-bener ejakulasi, tapi cairan itu membuat gerakan gue makin lancar, dan penis gue mulai berdenyut-denyut menyebar ke seluruh tubuh gue. Setiap kali gue dorong penis gue masuk Cinta mendengus. Gue melepaskan bibir gue dari mulut Cinta dan menjilat turun ke lehernya, berhenti bergerak di vagina dia berusaha menikmati setiap saat dari perkosaan gue selama mungkin, gue pengen ngerasain ini selamanya ketika tubuh gue bergetar lepas kontrol waktu gue menyedot leher Cinta yang jenjang dan putih, sementara penis gue terbenam seluruhnya dalam vagina Cinta.


Gue terus menahan penis gue di dalam vagina Cinta, menikmati sensasinya, menikmati tangis kesakitan dari mulut Cinta. Gue lalu mulai bergerak lagi, memperkosa dia pelan-pelan, lalu brutal dan menyakitkan, merasakan kenikmatan yang makin memuncak, memaksa gue sekali lagi untuk bergerak pelan-pelan, memaksa gue bergerak berirama, merasakan orgasme gue yang kian dekat, gue tau sebentar lagi gue bakalan keluar, dan gue akan keluarin semua sperma gue di dalem tubuh Cinta yang sedang merintih di bawah gue. Gue makin keras menyedot leher Cinta dan mulai mengigitinya, tangan gue meremas rambut di kepalanya, tubuh gue menyatu dengan tubuh Cinta, dengan lehernya, dadanya, buah dadanya, perutnya, vaginanya, dengan vaginanya yang sempit dan hangat menjepit erat, pahanya, hingga betisnya. Gue merasakan semuanya ketika erangan kecil keluar dari dada gue.


Gue akan keluar, gue mau keluar, gue akan meledak sebentar lagi, biarpun gue berusaha menahan sekuat tenaga tapi gue nggak bisa menghentikannya ketika gue mengerang, mendengus bagaikan banteng, otot paha gue menegang ketika penis gue berdenyut-denyut tak terkendali di dalam vagina Cinta, menyemburkan sperma demi sperma ke rahimnya yang terluka, kenikmatan yang amat sangat seakan-akan menyakitkan tubuh gue, membuat nafas gue tersengal-sengal. Dan Cinta menyadarinya, dia sangat sadar bahwa gue sudah mengalami orgasme dan itu membuat gue makin nikmat karena dengan begitu dia tahu bahwa gue sudah menaklukan dirinya, dan gue telah menyetubuhi dan meyemburkan sperma gue ke dalam tubuhnya. Gue terbaring selama satu menit penuh, tubuh gue lemas karena kenikmatan yang bertubi-tubi, tubuh gue sesekali bergidik dan bergerak-gerak teratur terangkat oleh gerakan dada Cinta yang menangis.


.....Gue angkat tubuh gue dari atas tubuh Cinta, penis gue masih keras dan tegang waktu gue tarik dari vagina Cinta. Gue berdiri dan memperhatikan Cinta, tubuh seksi yang barusan saja gue nikmatin. Gue remas penis gue, membuatnya berdenyut dan melonjak lagi karena gairah ketika gue lihat kaki Cinta yang ramping, yang sekarang tertekuk tak berdaya, melihat pinggulnya yang bulat, melihat perutnya yang rata, buah dadanya yang masih menakjubkan bergerak karena sedu sedan Cinta, pada wajahnya yang seperti model, yang semakin cantik dengan rasa sakin dan air mata. Gue bergidik lagi dan menatap Johan yang sedang menatap Toni.


"Giliran siapa?"


Toni mengangguk ke arah Johan, yang tersenyum dan mengangkat tubuh Cinta dengan tangannya. Cinta sempoyongan dipegangi oleh Johan di lengannya, dan menyeretnya ke meja gue. Cinta tak bersuara ketika Johan membungkukan tubuhnya ke meja gue, hingga sekarang mulai pinggang hingga kepala Cinta terbaring menelungkup di atas meja gue, semetara kakinya masih di lantai. Ketika gue pergi ke seberang meja dan memegangi pergelangan tangan Cinta gue dapet ide. Gue ambil pita perekat dari meja gue dan mengikat kedua pergelangan tangan Cinta jadi satu. Cinta tidak sekalipun melihat ke arah gue, dia hanya berdiri, dengan setengah tubuhnya terbaring di meja, ketika gue terus mengikat pergelangan tangannya dengan perekat. Dia bener-bener gadis yang cantik pikir gue. Setelah selesai gue tarik tangan Cinta hingga tergantung di sisi lain meja gue, sekarang kepala Cinta tergantung di pinggir meja, buah dadanya menjadi bantalan bagi tubuh Cinta di meja, menempel pada meja kayu jati itu.


"Pantatnya bener-bener bikin gue gila," kata Johan sambil merabai dua bulatan pantat Cinta. Cinta memang punya pantat yang sempurna, apalagi kalau dibandingkan dengan tubuhnya yang ramping, bentuknya sempurna, penuh, lembut, halus dan tanpa noda. Gue harus masukin juga ke sana pikir gue ketika gue liat Johan meraba, meremas dan menarik pantat Cinta, membuat Cinta melonjak di meja gue sementara gue terus menahan tangan Cinta. Johan segera melucuti pakaiannya, sambil terus memandang pantat Cinta yang luar biasa itu. Penis Johan langsung mengacung keluar, dan gue tersenyum. Penisnya besar, dan panjang juga, hampir 20 senti, dan Johan siap memasukan semuanya ke tubuh Cinta. Gue pengen tau juga bagaimana perasaan Cinta waktu nanti Johan masukin penisnya ke badannya, memperkosanya dan menyakitinya. Gue jambak lagi rambut Cinta dan mengangkat kepalanya sehingga gue bisa liat wajah Cinta, wajah Cinta berkilat karena air mata dengan bibir dan mata yang sempurna bagi gue. Mata Cinta terpejam tapi dengan melihat ekspresi wajah Cinta gue bisa tau apa yang sedang dikerjain Johan pada tubuh Cinta. Pasti Cinta merasakan sakit yang luar biasa waktu Johan masuk ke tubuhnya, walaupun gue udah membasahi vaginanya dengan sperma dan darah perawannya. Wajah Cinta mengerenyit dan gemetar, erangan keluar dari mulutnya pada saat bersamaan. Gue dengar Johan juga mengerang, setelah itu terdengar suara daging bergesekan dengan daging, dan gue tau Johan sudah masuk ke vagina Cinta. Bibir Cinta bergetar, air mata mengalir lagi dari matanya ketika gue denger suara tubuh berbenturan dengan tubuh yang lain, terus berulang-ualang. Johan memperkosa Cinta dengan brutal dari belakang, seperti seekor anjing, sementara gue terus mengangkat kepala Cinta, melihat wajahnya, menghembuskan nafas gue ke wajah Cinta, melihat rasa sakit dan sengsara yang terlukis bergantian di wajah Cinta, dan Cinta tahu bahwa gue sedang memandang wajahnya dan itu bagi Cinta sama hinanya dengan diperkosa.


Gue terhanyut, terhanyut oleh wajah Cinta, ketika gue denger suara lain, dan gue liat mata Cinta terbelalak karena sakit dan shock, mata yang bulat hitam dan berkilat karena air mata, melihat bibirnya yang membentuk huruf ‘O’ sambil menjerit kesakitan. Gue tau itu pasti Toni, dan itu pasti ikat pinggangnya yang diayunkan ke punggung atau pantat Cinta, tapi gue nggak bisa melepas pandangan gue dari wajah Cinta, dari mata yang penuh penderitaan dan putus asa tapi berkilat indah. Gue bergidik dengan birahi yang memuncak lagi, penis gue menegang lagi, menyakitkan, ketika gue liat wajah Cinta yang berkerut kesakitan dan penuh rasa malu.


Gue dengar Johan mendengus dan mendengus lagi, dan gue tau kalo dia baru saja ejakulasi di vagina Cinta, dan Cinta juga menyadarinya, dan ia lalu memejamkan matanya yang berlelehan air mata dan kembali menangis tersedu-sedu, dan setiap pecutan Toni mengayun, tangis kesakitan kembali terdengar dari dada Cinta. Suara pecutan kemudian berhenti, dan gue melepaskan pegangan gue di rambut Cinta, membiarkan kepalanya terjatuh lagi. Gue berdiri dan berpikir seharusnya gue juga mencoba mulut Cinta sekarang juga, tapi Toni masih belum dapet giliran.


"Dia bener-bener hebat," kata Johan, sambil masih melihat ke pantat Cinta. "Cewek yang bener-bener hot. Waktu lo pukul dia pake iket pinggang lo Ton, gue kira barangnya bakal bikin punya gue putus saking kerasnya ngejepit." Toni cuma tersenyum dan kita semua berpandangan satu sama lain dan tersenyum.


Toni membuat sebuah gerakan dan gue mengangguk ke Johan. Johan menarik Cinta dengan menjambak rambutnya, membuat kepala Cinta terangkat dan kemudian dadanya, membuat buat dada yang tadi tertindih menyembul tegak lagi, sebelum tubuh Cinta terlempar lagi ke lantai, rambut Cinta menutupi wajahnya sementara tangannya yang masih terikat menumpu tubuhnya yang terbaring miring, dan kaki Cinta yang indah menekuk di lutut. Gue pegang penis gue merasakannya berdenyut lagi. Cinta, Cinta bener-bener sesuatu yang memabukan.


Toni berjalan memutar dan mendorong kursi gue, kursi besar dari kulit yang biasa dipakai para wakil presiden direktu perusahaan internasional, ke depan Cinta. Toni lalu melucuti pakaiannya sendiri, tapi matanya tidak lepas dari tubuh Cinta. Ruangan itu sunyi lagi, yang terdengar hanya suara pakaian Toni yang dilempar ke atas lantai dan tangisan Cinta yang lirih.


Ketika telah telanjang bulat Toni duduk di kursi gue, merosot sedikit, dan memegang penisnya hingga mengacung ke atas.....


....... "Coba kamu ke sini Cinta," katanya, mata Toni penuh birahi, "dan kulum punya gue."


Kita semua menungggu, memperhatikan Cinta, setengah berharap ia akan menurut dan setengah berharap ia akan menolak, sehingga membuat kita punya alasan buat menyiksanya lagi dan menyakiti tubuh yang indah itu. Ia terisak sekali dan kemudian mulai bergerak, merangkak dengan lututnya, menuju ke arah Toni, rambutnya yang panjang dan ikal menempel di wajah, buah dada dan punggungnya.


Gue memperhatikan dengan penis gue di tangan gue, ketika ia sampai di dekat Toni dan ia meraih penis Toni di pangkalnya dengan tangannya yang terikat, setelah itu membuka bibrnya yang penuh dan sensual itu, lalu mendorong mulutnya ke penis Toni. Ya Allah, gue pengen sekali meperkosa dia saat itu juga, tubuh yang penuh sensasi. Ya Allah, dia bener-bener merangsang, berlutut seperti itu, sementara kepalanya mengangguk-angguk ketika ia melayani Toni, pipi Cinta menghisap dan mengulum dengan penis Toni di mulutnya, sebagian rambut jatuh di wajahnya.


Gue memandang Toni, melihat raut mukanya yang kecewa.


"Dia nggak tau bagaimana mengulum yang bener," kata Toni, sambil memandang gue, tangan Toni sekarang meremas rambut Cinta ketika ia memegangi kepala Cinta. "Cewek ini nggak bisa make mulutnya buat muasin gue." Cinta merintih mendengar perkataan Toni, dan mengikuti pandangan Toni yang sedang melihat ke ikat pinggang kita yang tergeletak di lantai. Gue tersenyum pada Toni dan mendekati Johan, mengambil ikat pinggang gue, melihat tubuh Cinta gemetar lagi seakan tahu apa yang akan terjadi sebentar lagi, kepalanya bergerak makin cepat di penis Toni, hampir putus asa.


Gue berdiri di belakang Cinta, dengan ikat pinggang di tangan gue, ujung ikat pinggang itu mengayun-ayun di tangan gue, Johan ada di sebelah gue, Otot tubuh Toni menengang memegangi Cinta. Tangan gue dan Johan terangkat dan mengayunkan ikat pinggang masing-masing ke pantatnya, keduanya mengenai sasaran, tubuh Cinta melonjak kesakitan sementara lolongan kesakitan terdengar dari tenggorokannya, diredam oleh penis Toni yang masih ada di mulut Cinta. Gue memecut lagi ke arah pantatnya, Cinta menjerit lagi, gue berhasil membuat tanda merah di pantatnya ketika Cinta menjerit kedua kalinya, dan yang ketiga ketika ikat pinggang Johan mendarat ke pahanya, kepala Cinta terlonjak sedikit ketika Toni menekan kepalanya turun ke pangkal penis Toni. Jeritan Cinta berubah menjadi batuk dan suara tersedak, walaupun kita berdua masih terus memukulinya, penis Toni rupanya masuk hingga tenggorokannya.


Gue bisa melihat sekarang, gue melihat benjolan kepala penis Toni di tenggorokan Cinta, mata Cinta menatap liar, tubuhnya meronta-ronta karena rasa sakit, panik dan kekurangan udara, tangannya menggapai-gapai di bawah, terlalu takut untuk mendorong tubuh Toni yang dengan tangannya menahan kepala Cinta agar tetap di pangkal penisnya. Gue mengayunkan ikat pinggang gue lagi, membuat suara jeritan terdengar lagi ketika ujung ikat pinggang gue yang dilapisi logam menghajar punggung Cinta yang mulus, tubuh Cinta mengejang sama seperti tadi ketika ia diperkosa dan dipukuli.


Toni bener-bener brutal, dengan kedua tangan di sisi kepala Cinta, meremas rambut Cinta, ia menggerakan kepala Cinta di penisnya, menghujamkan wajah Cinta ke selangkangannya ketika ia memasukan seluruh penisnya hingga ke tenggorokan Cinta. Kita berdua juga brutal, ketika kita mengayunkan ikat pinggang ke pantat Cinta, paha Cinta bahkan punggung Cinta ketika kita berbarengan menyiksa tubuh cantik yang terus menjerit, gemetar, mengejang dan berkeringat. Pikiran gue sudah berkabut, walapun tangan gue sudah lemas, pantat dan paha Cinta sudah bilur-bilur kebiruan karena terus dipukuli, jeritannya makin keras dan melolong-lolong, penis gue sudah tegang sekali seakan-akan ingin meledak ketika gue liat Toni terus menghujamkan wajah Cinta ke pangkal penisnya dan sekarang menahannya di situ dan gue sadar Toni sedang berejakulasi di tenggorokan Cinta, menggeram ketika ia terus menahan kepala Cinta.


Ini sudah terlalu lama, gue sudah nunggu terlalu lama. Gue musti perkosa dia lagi, gue musti menikmati lagi Cinta Laura yang sedang jadi mainan kita. Gue jambak lagi rambut Cinta, di pangkalnya dan menariknya dengan kasar dari pegangan Toni, air liur Cinta dan sperma Toni mengalir keluar dari mulutnya ketika gue seret dia sekitar dua meter dari Toni dan melemparkannya hingga jatuh tertelungkup. Gue berlutut di belakang dia, dan meraih pinggul Cinta yang bulat, dan menarik pantatnya yang biru-biru hingga menungging, penis gue bergoyang-goyang di depan gue sementara gue menggeram bagai binatang, mengarah ke vagina Cinta yang terluka.


Gue masuk lagi dengan brutal, berharap gue kembali menyakiti Cinta, berharap dia menjerit kesakitan, tapi yang gue dengar hanya suara mengerang ketika penis gue masuk ke rahim Cinta. Gue bergoyang keluar masuk sebanyak tiga kali, vagina Cinta masih sangat sempit dan nikmat, gue hampir saja diam tak bergerak di situ. Tapi pantat Cinta, dengan liang anus berkerut berwarna kecoklatan terlihat seperti menggoda gue, jari-jari gue membuka belahan pantat Cinta yang memanggil-manggil gue. Gue meringis ketika gue tarik penis gue dari jepitan vagina Cinta dan mengarahkannya ke liang anus Cinta.


Reaksi Cinta bener-bener menggairahkan. Rintihan dan ratapan keluar lagi dari bibir Cinta.


"Jangan, jangan, saya mohon, ya Allah, jangan, ya Allah, ya Allah!" Cinta merintih dan meronta sekarang lebih kuat dari pada yang gue duga sebelumnya, lututnya terangkat dari lantai, otot-otot di pantatnya mengejang berusaha menutup, pinggulnya bergoyang berusaha melepaskan diri dari pegangan gue. Tapi gue nggak peduli. Nggak ada yang bisa menghalangi gue buat menikmati pantat Cinta. Dan gue pegangin dia, di pinggulnya, penis gue yang sudah dibasahi oleh vagina Cinta, menekan ke liang anus Cinta, tubuh Cinta menggeliat dan meronta dalam pegangan gue sembari memohon agar gue berhenti, dan melakukan apa saja, apa saja selain sodomi.


Gue menekan lebih keras lagi, jari-jari gue membuat memar baru di pinggul Cinta, ketika gue merasa liang anus Cinta mulai terbuka, jeritan pelan mulai terdengar dari mulut Cinta, keluar dari dada Cinta, dada dengan payudara yang bulat yang sekarang tertindih tubuh Cinta di lantai yang terus berusaha merangkak menjauh dari gue. Setelah itu yang gue dengar hanya jeritan Cinta yang melengking hingga akhirnya terputus sendiri ketika kepala penis gue berhasil menembus masuk anus Cinta, membuat gue gemetar karena sensasi yang timbul. Sempit, sempit sekali sampai membuat nyeri, semakin nyeri ketika gue paksa penis gue masuk lebih dalam lagi, dan lebih dalam lagi, jeritan Cinta berubah menjadi lolongan ketika telapak tangan Cinta mengepal menahan sakit, dahinya terbenam ke karpet ketika lolongan Cinta berubah lagi menjadi tangisan kekalahan dan kesakitan bersamaan dengan masuknya sisa penis gue ke anus Cinta yang terus menjepit dan memijati batang penis gue.


Gue tarik lagi penis gue keluar, menikmati gerakan tubuh Cinta yang kesakitan, dan kemudian mendorongnya masuk lagi sekeras-kerasnya ke dalam anus yang sempit luar biasa itu. Gua nggak punya pikiran lain selain menyodominya, dan terus menyodominya, menyodomi anus Cinta, dengna brutal, sekuat tenaga, dan menikmati setiap rasa sakit yang dirasakan oleh Cinta, rasa teror yang dialami Cinta, kekalahannya. Gue sadar ketika gerakan gue di anus Cinta mulai lancar, Johan berlutut di depan Cinta, dan gue liat penis gue kembali berlumuran darah ketika gue menarik penis gue keluar untuk yang kesekian sebelum mendorongnya masuk lagi. Johan ada di depan Cinta, menarik rambutnya dan memegang kepala Cinta dengan kepalanya, menarik rahang Cinta, memaksanya membuka mulut, dan memasukan penisnya ke dalam mulut Cinta dan memperkosanya sebrutal gue yang ada di anusnya.


Gue nggak tahu berapa lama kita memperkosa Cinta, gue di anus dan Johan di mulut, tubuh Cinta terus menerus mengejang dan gemetar dengan suara mengerang lirih kesakitan dan mulutnya. Gue tenggelam di kabut birahi dan nafsu, seluruh pikiran gue gue pusatin di penis gue, pada dua buah bulatan daging yang merupakan pantat Cinta, gue terus bergerak, keluar, masuk, keluar, masuk, dan gue merasa orgasme gue kembali datang, menyakiti penis gue, mengingat gue baru saja orgasme beberapa saat yang lalu, tapi gue menikmati rasa sakit itu, rasa sakit yang sangat nikmat sementara gue terus bergoyang di pantat Cinta hingga akhirnya gue tersentak, seluruh tubuh gue tersentak dan gue ejakulasi di dalem anus Cinta, penis gue berdenyut dan menggelinjang terus dan terus ketika gue memuntahkan sperma gue ke anus Cinta, menaklukan lagi gadis itu, gadis yang amat sangat merangsang gue, Cinta Laura.


Gue terdiam beberapa saat, mendengar Johan yang mendengus menyelesaikan hajatnya di mulut Cinta, dan gue menarik penis gue keluar, mendesis ketika anus Cinta kembali menjepit batang penis gue erat-erat untuk terakhir kalinya sebelum gue jatuh terduduk. Gue duduk di situ semenit, melihat Johan yang menarik penisnya dari mulut Cinta dan berdiri, membiarkan tubuh Cinta jatuh tersungkur ke lantai lagi.


Gue menggelengkan kepala gue, mengerjapkan mata gue dan berjalan ke kursi dimana Toni sedang beristirahat dan duduk. Toni sedang memandangi Cinta, alat hiburan kita bertiga. Kaki Toni menendang tubuh Cinta beberapa kali, tidak keras. Kemudian ia mengulurkan tangannya dan menggulingkan tubuh Cinta hingga terlentang.


....... "Bener-bener cantik dia," katanya, mengucapkan apa yang ada di pikiran gue. Cinta, Cinta Laura, terbaring tak berdaya di lantai. Tangannya dengan pergelangan tangan masih terikat terangkat ke atas kepalanya, membuat tubuhnya makin ramping, semakin tinggi, dan langsing. Buah dadanya masih mengacung di dadanya, memerah dan bilur-bilur karena pukulan-pukulan Toni. Lehernya panjang, halus dan putih, terlihat seperti menelan ludah beberapa kali, dan setiap kali menelan Cinta terlihat kesakitan, nafasnya terdengar berat dan terputus-putus. Darah tampak sedikit mengalir dari hidungnya dan bibirnya, bibirnya yang penuh dan sensual itu bilur-bilur membiru. Mata Cinta terpejam, dan alis matanya tampak semakin menarik dengan wajah yang basah karena air mata dan keringat. Pinggangnya ramping dan perutnya, gemetar pelan ketika ia mengerang kesakitan, perkosaan dan pukulan kita pada Cinta membuat ia tidak bisa berbaring tanpa kesakitan.


Bagi gue nggak ada yang lebih merangsang gue daripada melihat cewek yang sedang kesakitan, dan Cinta Laura di depan gue ini sedang kesakitan setengah mati. Gue pikir kita bertiga bener-bener terkagum-kagum karena kita semua cuma berdiri dan duduk di situ dan memandangi Cinta, menikmati setiap jengkal tubuh Cinta yang sedang menggeliat-geliat kesakitan. Toni membuyarkan lamunan itu, ia bangun dan mendekati tumpukan pakaiannya, penis Toni mengacung tegang ketika ia sedang merogoh-rogoh kantong bajunya, mengeluarkan satu pak rokok dan zippo. Ia menyalakan satu batang rokok, menghisap dan berjalan mendekati dan berdiri dekat dengan kaki Cinta, memandangi tubuh Cinta di bawahnya. Gue menarik kursi gue supaya gue bisa melihat apa yang dikerjakan Toni lebih jelas lagi, ketika Toni berlutut dengan rokok masih ada di bibirnya.


Toni menarik kaki Cinta, tidak menghiraukan erangan sakit dari Cinta ketika ia mengangkat kaki Cinta dan menyangkutkannya ke bahunya sendiri. Ia bersandar ke depan, penis Toni tepat mengarah ke vagina Cinta yang memerah karena diperkosa beruntun, tubuh Toni hanya ditumpu oleh kaki Loa dan satu tangan Toni. Cinta sama sekali tidak membuka matanya, hanya mengerang ketika Toni menekan penisnya ke vagina yang sudah kesakitan, membenamkannya hingga pangkal. Ia menahannya di situ, menatap wajah Cinta di bawahnya, wajah Cinta yang cantik, dengan rokok yang masih menggantung di mulutnya.


Gue membeku dan tersenyum ketika gue liat Toni menarik rokok itu dari mulutnya dan memandang Johan, yang mendekat dan berlutut menindih tangan Cinta. Cinta membuka matanya, melihat Johan yang memandangi dirinya, menatap ujung rokok yang menyala. Gue tau, Johan tau dan Cinta pun tau apa yang akan dilakukan oleh Toni dan mata Cinta, mata yang bulat semakin membesar dan air mata kembali mengalir tanpa terdengar isakan, bibir Cinta terbuka seakan-akan ingin memohon pada Toni tapi tahu bahwa itu percuma.


Ujung rokok itu mendekat perlahan, dan tubuh Cinta mulai meronta-ronta ditindih oleh tubuh Toni, menggeliat, mengejang, meronta, buah dada Cinta bergoyang-goyang ketika Cinta meronta tanpa bersuara, berat tubuh Toni membuatnya tidak berdaya. Ujung rokok yang menyala itu menyentuh buah dada kanan Cinta, membuat jeritan Cinta kembali terdengar bersamaan dengan terbakarnya daging payudara kanan Cinta yang sudah berkeringat. Toni menghisap rokoknya lagi, membuat ujungnya menyala-nyala lagi, dan mendekatkannya lagi ke payudara kiri Cinta, perlahan dengan penis masih terbenam di vagina Cinta. Cinta menjerit lagi, punggungnya melengkung kesakitan, tubuhnya meronta berusaha melawan Toni.


Selama setengah jam Toni terus menyiksa Cinta, menyulut, menghisap, menyulut, menghisao, menyalakan sebuah rokok baru setiap kali rokok yang lama habis, membuat Cinta menjerit dan menjerit dan menjerit hingga akhirnya Cinta hanya bisa melolong lemah, dengan tubuh yang terus mengejang dan mencoba berguling sementara Toni terus menahannya denga penis terbenam dan dijepit oleh vagina Cinta, Toni menahan penisnya hingga vagina Cinta yang menjepit setiap kali Cinta kesakitan membuatnya seperti dipijati oleh vagina Cinta sendiri. Kemudian Toni meremas buah dada Cinta, meremasnya keras-keras dengan kedua tangannya, membuat Cinta kembali melolong seperti binatang yang terluka, tubuhnya menggelinjang sementara Toni mulai menggerakan penisnya di vagina Cinta dengan brutal, payudara Cinta terasa perih ketika luka bakar di buah dadanya terbuka karena remasan tangan Toni, kuku Toni menghujam ke daging buah dada Cinta.


Toni menggeram, menumbukan pinggulnya ke pinggul Cinta, kuku jari Toni membuat buah dada Cinta terluka dan mengeluarkan setetes darah, lolongan Cinta bersahutan dengan erangan Toni ketika ia berejakulasi, mengisi rahim Cinta dengan air mani. Selama beberapa detik tubuh Toni tegang tak bergerak di atas tubuh Cinta, lalu semuanya berakhir, dan ia tersungkur ke tubuh Cinta yang terisak-isak. Selama beberapa menit Toni tetap berbaring sebelum ia berguling dan berdiri, meninggalkan Cinta yang terlentang di atas lantai, kaki Cinta terbuka lebar, tangan Cinta menutupi buah dadanya yang terluka ketika ia menangis keras dengan kesakitan.


Gue nggak tau kenapa, tapi Cinta dan tubuhnya serta tangisannya membuat gue pengen menyakitinya lagi, membuat gue pengen dengar dia menangis, menjerit dan minta ampun pada gue. Gue menunduk di antara kaki Cinta, satu tangan gue memegang pahanya dan bahu gue menahan paha Cinta yang lain, wajah gue hanya beberapa senti dari vagina Cinta yang memerah dan terluka. Dari belahan vaginanya mengalir sperma yang tercampur titik-titik darah turun ke belahan pantatnya. Gue bisa liat clitorisnya, juga memerah dan memar di tumbuhi sedikit rambut kemaluan.


Dengan dua jari gue membuka labia Cinta yang ada di sekitar clitoris Cinta. Tangan gue yang satu lagi mengulur dan memegang clitoris yang merah itu dengan jempol dan telunjuk gue, mendengar tangisan Cinta makin keras, merasakan pahanya gemetar, lalu gue jepit clitoris itu, membuat lolongan Cinta kembali membahana, pahanya mengejang berusaha menutup kakinya, tapi bahu gue menghalangi usahanya yang sudah tak bertenaga.


Gue jepit, tarik dan membenamkan kuku jari gue ke daging kecil yang sensitif itu, membuatnya kembali menjerit dan menggeliat ketika gue menyakitinya lagi. Gue menarik tangan gue lagi, membuat tubuh Cinta rileks lagi.


Toni kembali mendekat dan menyeret tubuh Cinta dan melemparkannya ke atas meja gue lagi. Pantat Cinta menungging ke atas seakan-akan siap menerima Toni.


Toni membuka belahan pantat Cinta dengan kedua tangannya dan memasukan penisnya masuk dengan satu kali dorongan yang keras. Cinta mengerang, dia terus mengerang setiap saat sekarang, seluruh tubuhnya telah kesakitan, buah dadanya semakin membuatnya kesakitan karena tertindih tubuhnya sendiri di atas meja. Gue berjalan ke seberang meja dan menjambak rambutnya lalu memasukan penis gue ke mulut Cinta, masuk terus hingga ke tenggorokannya, merasakan hangatnya lidah dan tenggorokan Cinta di seluruh bagian penis gue, tenggorokan Cinta juga menjepit kepala penis gue, dan lembutnya bibir Cinta melingkari pangkal penis gue. Cinta kembali diperkosa di anus dan di mulut, dengan kasar dan brutal karena kita berdua harus berusaha keras untuk dapat mencapai puncak untuk yang ketiga kalinya di tubuh ini, ke dalam tubuh gadis yang tidak ada bandingannya, ke dalam tubuh Cinta Laura.


"Ambilin gue pin." Gue denger Toni berkata dan gue tersenyum lagi ketika gue liat Johan mengangsurkan beberapa pin dari meja gue, yang langsung dibenamkan Toni ke pantat Cinta.


Jeritan Cinta mengalir ke penis gue, membuat gue mengerang nikmat. Pin kedua kembali ditancapkan ke pantat Cinta, dan jeritan kedua membuat gue gila karena birahi. Gue nggak bisa orgasme, cewek ini sudah menghabiskan seluruh sperma gue sebelumnya. Sakit sekali rasanya testis gue yang berusaha mengeluarkan sperma ke mulut Cinta. Toni sudah berhenti menancapkan pin, tangan dan pinggul Toni menumbuk-numbuk pin di pantat Cinta membuat jeritan Cinta sambung menyambung mengalir ke penis gue, membuat gue tenggelam dalam kenikmatan dan frustasi dalam usaha gue berejakulasi.


Pantat Cinta pasti bener-bener memuaskan Toni karena gue liat mata Toni membalik dan ia melolong nikmat ketika ia kembali menyemburkan spermanya ke dalam tubuh Cinta, Cinta yang cantik. Setelah selesai Toni menarik penisnya keluar, gue juga menarik penis gue dari mulut Cinta dan melihat wajahnya yang memar, darah kemabli menetes dari hidungnya, dan menetes ke penis gue.


Gue mundur dan Johan mengulurkan tangannya meremas buah dada Cinta dan menariknya ke atas hingga Cinta dipegangi oleh Johan di buah dadanya, membuat Cinta mengerang ketika penisnya menembus masuk ke anus Cinta, pantat Cinta masih ditancapi oleh pin yang makin menusuk ke dalam daging pantat Cinta ketika Johan terus mendorong penis sepanjang 20 senti itu masuk ke anus Cinta. Cinta menjerit sekali, ketika kepala penis Johan masuk membuka liang anusnya, dan kemudian mengerang setiap kali Johan bergerak keluar dan masuk.


Penis gue terus berdenyut ketika gue melihat Cinta, dipegangi oleh Johan, sementara kepalanya mengangguk-angguk seirama dengan goyangan pinggul Johan, rambut Cinta bergoyang kesana kemari di sekeliling kepala Cinta, matanya, matanya yang bulat indah membelalak karena kesakitan dan shock, mulutnya menganga mengeluarkan erangan yang berirama dengan gerakan Johan, bibir Cinta bilur membiru, darah masih menetes dari hidungnya mengalir ke dagu, terus turun ke lehernya jenjang hingga ke belahan buah dada Cinta.


Gue naik ke atas meja dan berlutut di depan Cinta, meremas pantatnya yang mempesona untuk mendengar jerit kesakitan Cinta, kemudian memasukan penis gue vagina Cinta, tubuh Cinta seperti boneka di jepit oleh gue dan Johan. Vagina dan anus Cinta kembali dimasuki oleh dua buah penis bersamaan, membuat tubuh yang terluka, memar dan kesakitan itu bergoyang-goyang maju mundur.


Penis gue masih dijepit erat oleh vagina Cinta yang tampaknya tidak akan pernah melebar. Dan orgasme gue datang. Gue orgasme sekuat tenaga gue, tangan gue meremas pantat Cinta, testis gue seakan-akan ditarik dari penis gue ketika gue ejakulasi. Gue orgasme untuk yang ketiga kalinya malam itu. Johan selesai menyembur, tangannya melukai lagi buah dada Cinta yang memar, terbakar dan berdarah dan kemudian ketika gue selesai tubuh Cinta langsung ambruk terguling dari meja jatuh ke lantai, mengerang lemah.


Kita bertiga berdiri untuk beberapa saat, dan gue memandang jam.


"Waktunya berangkat." Kata gue, dan kita lalu membersihkan badan menggunakan pakaian Cinta sebagai lap. Membiarkan Cinta yang berbaring tak bergerak di lantai. Ketika kita sudah berpakaian lagi, gue seret dia ke bawah meja gue dan mengikat dia dengan tali yang diambil Johan dari gudang. Gue tahu kalo office boy akan menemukan Cinta besok pagi, tapi pada waktu dia ditemukan gue dan temen gue sudah sedang menikmati layanan VIP di negeri yang mau gue datengin.


Dan gue masih memikirkan Cinta Laura delapan jam kemudian ketika gue sedang bersalaman dengan pejabat pemerintahan di pulau tropis tanpa perjanjian ekstradisi.

1 komentar:

Silahkan berkomentar dengan baik .
Jika ada link yang rusak atau ada permintaan silahkan tinggalkan komentar dengan bahasa yang sopan

 

PASANG IKLAN ANDA DISINI

PASANG IKLAN ANDA DISINI